Jakarta - Pada 1 Februari 1994, Green Day merayakan beredarnya album ketiga mereka, Dookie,
dengan tur menyeberang teluk dari tempat asal mereka – kancah hardcore
punk di Berkeley – untuk bermain di Slim’s, sebuah klub di San
Francisco.
Vokalis-gitaris Billie Joe Armstrong gugup di malam itu, tapi bukan karena Dookie
adalah album pertama bandnya di bawah perusahaan rekaman besar,
Reprise. Itu karena Green Day bermain sepanggung dengan The Dead
Milkmen, sebuah band punk kocak yang tenar di tahun ’80-an lewat
lagu-lagu seperti “Bitchin’ Camaro”.
“Saya pikir, ‘Saya tak mau bermain setelah mereka – mereka punya lagu-lagu yang bagus,’ ” kata Armstrong.
Sebenarnya, pada momen itu, Green Day – Armstrong, bassist Mike Dirnt
dan drummer Tre Cool, semuanya berusia 21 tahun – punya banyak lagu
yang lebih bagus: 14 karya meledak-ledak di Dookie, termasuk
“Basket Case”, kisah kepanikan bertempo tinggi, serta lagu-lagu orang
bosan “Burnout” dan “Longview”. Itu semua kisah-kisah nyata – “sebuah
jurnal,” kata Armstrong, sang penulis lirik utama di band itu, tentang
“apa saja yang ada di pikiran saya, tentang kehidupan sebagai anak
jalanan.”
Di Slim’s, Green Day memainkan lagu-lagu barunya dengan girang. Reaksi
500 orang yang menonton terjadi dengan cepat dan sedikit menakutkan,
sebuah euforia crowd-surfing dan slam-dancing yang
diabadikan dalam video untuk single “Welcome to Paradise”, yang direkam
di klub itu pada malam tersebut. “Mereka benar-benar penuh energi,”
kata Armstrong, kini 42 tahun, “seolah-olah mereka ingin menjadi bagian
dari sesuatu, tapi tak ada yang tahu itu apa. Kami pun tidak tahu.”
Armstrong baru tahu beberapa bulan kemudian, pada 9 September, ketika
Green Day tampil di puncak sebuah acara udara terbuka gratis di Hatch
Shell, Boston dengan penonton sekitar 65.000 orang. Saat itu, single
pertama dari Dookie, “Longview”, menduduki peringkat pertama di radio
modern rock, dan albumnya nyaris terjual dua juta kopi. Bahkan sebelum
Green Day tampil, sebuah mosh pit besar terjadi di tengah-tengah
penonton; setelah tampil 20 menit, kerusuhan besar-besaran berlangsung,
anggota keamanan tertekan tak berdaya pada pagar di depan panggung.
Green Day sedang membawakan “F.O.D.” – singkatan dari “Fuck Off and
Die” – dari Dookie ketika aparat mengakhiri konsernya. Di kamar hotel
mereka, Armstrong dan istrinya, Adrienne, menyaksikan kerusuhan itu di
televisi. “Itu jadi berita utama,” katanya, dengan masih takjub hingga
kini. “Mereka mengucapkan nama band kami, isi dari lagu-lagu-nya:
‘Anak-anak ini berasal dari kaum terlantar.’
“Kita bisa lihat,” kata Armstrong, sambil tertawa. “Itu berkembang.”
Kini, Dookie adalah
salah satu album rock tersukses yang pernah dibuat, dengan lebih dari
10 juta kopi terjual di Amerika Serikat saja, dan Green Day adalah band
punk terbesar di Amerika. Ke-11 album studio mereka, termasuk American Idiot, album opera punk dari 2004 yang sukses besar, telah terjual sejumlah 75 juta kopi di seluruh dunia.
“Kami tak menyangka sedang merintis jalan untuk sisa hidup kami,” kata
Dirnt, 41 tahun. “Kami mengikuti jejak band-band kesukaan kami dari
tahun ’60-an, seperti The Who dan The Kinks. Pikirkan langkah
selanjutnya. Buatlah lagu-lagunya sehidup mungkin.”
Dookie bisa jadi merupakan kisah kesuksesan yang paling tak
terduga di antara tren rock alternatif tahun ’90-an. Ketika itu Rob
Cavallo adalah staf A&R junior di Reprise, anak perusahaan Warner
Bros., ketika mengontrak Green Day, lalu menjadi co-producer
album itu bersama mereka pada musim panas 1993. “Ada orang-orang di
Warner Bros.,” menurut Cavallo, “yang berkata, ‘Mengapa kamu mau
mengontrak band punk? Punk tak pernah laku.’"
“Ini adalah era grunge, dengan ciri khas drum menggelegar, tempo yang sangat lamban dan banyak reverb,” sementara Dookie itu
cepat, renyah dan kering. Ketika Cavallo, yang kini menjabat sebagai
bos Warner Bros., pertama kali memperdengarkan albumnya yang sudah
rampung kepada departemen promosi di perusahaan rekamannya, seseorang
bertanya, “Kapan akan di-mixing?”
“Saya menduga ada 100.000 anak keren di luar sana yang suka punk rock,”
kata Cavallo. Dugaannya kurang dua angka nol. “Kami adalah band pop
punk pertama yang sukses besar.”
Di sebuah era yang ditandai oleh musik suram asal Seattle yang dibuat
Nirvana dan Alice in Chains, lagu-lagu seperti “Welcome to Paradise”,
kisah Armstrong tentang kabur dari rumah sewaktu remaja, atau “Having a
Blast” yang menikmati balas dendam, memadukan sifat minimalis punk
klasik, kekuatan pop ’60-an dan introspeksi berani, yang lahir dari
nilai-nilai kaum pinggiran di kancah musik East Bay.
Armstrong dan Dirnt, sahabat sejak kecil yang mulai bermain musik
bersama di usia 12 tahun, menamai bandnya Green Day karena terinspirasi
kegemaran mereka menghabiskan hari sambil mengisap ganja. “Dookie”
adalah istilah dari tur untuk diare akibat makanan buruk; saat ditanya
tentang judul albumnya, Armstrong menjawab, “Itu ulah orang teler.”
Alasan itu sering muncul saat Green Day membicarakan Dookie sekarang.
Bagaimana rasanya menjadi incaran perang tawar-menawar antara
perusahaan rekaman besar? Dirnt: “Kami lebih banyak teler ketika itu.”
Bagaimana ceritanya Cool bisa menyanyikan “All by Myself”, lagu bonus
yang konyol? Kata sang drummer: “Saya tidak tahu. Mungkin saya teler.”
Bagaimana cara mereka memutuskan untuk ikut Reprise? Armstrong: “Kami
mungkin teler. Saya harus jujur. Kami selalu teler. Kami duduk bersama
manajer, dan melalui proses eliminasi yang kabur – ‘Rob Cavallo?
Baiklah!’ ” Armstrong menghela nafas dengan lega. “Puji Tuhan semuanya
berjalan baik-baik saja.”
“Jika ada satu hal yang saya sesalkan,” kata Dirnt, saat mengenang, “saya terlalu lama teler.”
Tapi di tengah kabut ganja itu masih ada sifat cermat. “Sangat banyak
band punk membuat kesalahan, yakni terdengar mewah dengan terlalu
banyak reverb,” kata Armstrong. “Bagi kami, semuanya harus
sederhana. Mungkin hanya ada dua solo gitar di album ini. ‘Apa yang akan
kita lakukan di bagian bridge?’ ‘Persetan dengan bridge – mari kita
langsung masuk ke bait, dipompa dengan power chord keras.’ ”
Cool, kini 41 tahun, menyebut teladan yang tak terduga bagi Dookie: Please Please Me oleh
The Beatles, yang sering dipasang di van tur Green Day. “Kami ingin
membuat album yang enak didengar dari awal sampai akhir,” katanya, “yang
akan membuatmu menyetel kaset itu bolak-balik.”
“Lagu-lagu kami punya kepribadian ganda,” kata Dirnt. “Cukup riang.
Sisi badungnya terdengar jelas.” Tapi liriknya “juga sangat gelap dan
serius.” Dia ingat rasa kagetnya, ketika Dookie meledak di
tangga album dan radio sepanjang 1994, saat melihat “orang-orang
tertawa di bagian-bagian yang salah” pada lagu-lagu di konser Green
Day. “Saya pikir, ‘Wah, kapten tim football berambut hijau dan ada
anting di hidungnya,’ sedangkan teman-teman saya selalu dipukul karena
itu.”
Green Day punya akar yang dalam di kancah hardcore Berkeley. Sewaktu
remaja, mereka mengasah aksi panggung mereka yang dinamis di 924 Gilman
Street, sebuah klub semua usia tempat album pertama Green Day – 39/Smooth dari 1990 yang dibuat dengan drummer pertama John Kiffmeyer, serta Kerplunk dari
1992 – diedarkan oleh perusahaan rekaman kecil Lookout! Records.
Sebelum bergabung dengan Green Day, Cool berman di The Lookouts, band
salah satu pendiri Lookout! Records, Larry Livermore.
Tapi ketika Green Day dikontrak oleh Reprise, hujatan terjadi dengan
cepat dan pedas. Gilman Street mencekal trio itu dari lokasinya.
Armstrong bercerita tentang masa yang membingungkan itu, ketika dia
punya kontrak dengan perusahaan rekaman besar tapi belum mendapat
uangnya. Armstrong menghadiri pesta di gedung penghuni gelap di Berkeley
bersama pacarnya ketika itu (yang menjadi inspirasi lagu “She” di
Dookie), beberapa kaleng bir dan beberapa loyang roti segar yang
ditemukan di tempat sampah.
“Saya berjalan masuk,” katanya, “dan ada seseorang yang berkata,
‘Inilah bajingan dari Green Day itu. Dia dikontrak oleh perusahaan
besar. Kamu fasis.’” Armstrong berkelahi dengan penuduh itu, sebelum
dilerai. “Saya membuang rotinya, membawa birnya dan pergi. Saya marah.”
Kini dia terdengar sedih. “Karier kami mulai terbuka. Tapi sesuatu yang
sangat penting bagi saya justru menutup.”
Dirnt bersikeras bahwa Green Day takkan dikontrak oleh perusahaan
rekaman besar “kalau tidak menyangkut bagaimana kami bertiga bertahan
hidup. Bagi saya, mengkhianati prinsip adalah dengan kembali menjadi
penggoreng burger, pemasang pemanas rumah dan melukis. Apakah saya ingin
punya kehidupan di mana saya peduli akan sesuatu? Atau apakah saya
ingin menjalani kehidupan di mana semua orang di sekitar saya juga
sengsara?
“Itu intinya,” kata sang bassist. “Mempertahankan hati.”
“Kami
menguras habis mereka,” kata Armstrong dengan ceria, saat bercerita
tentang makanan dan minuman gratis, penerbangan ke Los Angeles dan
kenakalan lainnya yang dinikmati Green Day ketika menjadi rebutan
perusahaan-perusahaan rekaman besar. “Itu era di mana orang-orang
A&R punya kartu kredit, jadi mereka bisa membeli apa saja yang
mereka mau. Kami menghabiskan minibar dan membengkakkan tagihan –
anak-anak gila yang berusaha sebisa mungkin untuk menertawakan
segalanya.”
Mereka berkata ke salah satu staf A&R bahwa mereka akan masuk
labelnya jika dia membuat tato Green Day di bokongnya. “Di tengah-tengah
kantornya,” kata Armstrong, “dia membuka celana untuk menunjukkannya
ke kami. Salah satu bos melihatnya dan berkata, ‘You fucking idiot.’ ” Ternyata tato itu palsu, dan orang itu tidak berhasil mendapatkan Green Day.
Di salah satu perjalanan ke L.A., Green Day berhasil membujuk seorang
eksekutif di Geffen untuk membawa mereka ke Disneyland. “Kami sudah
makan, perut kenyang, naik roller coaster,” kata Cool. “Kami senang.”
Pada saat itu, mereka juga sudah memutuskan untuk ikut Cavallo.
Green Day bisa serius saat dibutuhkan. Menurut Dirnt, di salah satu
pertemuan, “David Geffen berkata, ‘Kurt seperti anak saya sendiri’ ” –
maksudnya Kurt Cobain dari Nirvana. “Saya berkata, ‘Terserah, bung.’
Tapi saya juga berpikir, ‘Saya tak ingin jadi anak kedua, anak yang satu
lagi. Kalau dia seperti anak bagi Anda, untuk apa menginginkan saya?’”
Cavallo mengaku punya dua kelebihan. Dia adalah co-producer salah satu
album baru kesukaan Armstrong ketika itu, yakni album debut oleh band
pop punk asal L.A., The Muffs. Dia juga bisa bermain gitar. Green Day
mengundang Cavallo ke tempat latihan mereka di Berkeley, “membuat saya
mabuk,” kata Cavallo, “dan mulai bertanya-tanya. ‘Kabarnya Anda bisa
memainkan semua lagu The Beatles. Bagaimana cara memainkan bagian yang
menurun di “Help!”? Bagaimana cara memainkan bagian itu di “A Hard
Day’s Night”?’ Kami bermain gitar bersama selama satu setengah jam.”
Home »
Music News
» Green Day Mengenang Album 'Dookie'
Green Day Mengenang Album 'Dookie'
Posted by Unknown
Posted on 12:10:00
with No comments
0 comments:
Post a Comment