Jakarta - Dua puluh tahun lalu, di jam-jam seperti saat
tulisan ini dibuat, saya sedang sibuk mendengarkan koleksi kaset
kesayangan. Jumlahnya tidak banyak, berhubung uang jajan dari orangtua
sangat terbatas. Kaset pertama yang saya beli adalah Kantata Takwa,
hasil patungan berdua dengan abang saya. Kalau tidak salah harganya lima
ribu rupiah. Lalu menyusul beberapa album dari berbagai aliran.
Untunglah ada tambahan koleksi kaset lawas milik ayah saya. Jadi lumayan
banyak kaset yang bisa saya putar setiap hari saat itu. Dari Bee Gees
hingga Def Leppard, dari seri kompilasi Dream Express (beserta
buku-bukunya) hingga keempat seri Camelia milik Ebiet G. Ade.
Mendengarkan banyak lagu dari berbagai aliran sejak kecil cukup
berdampak baik bagi saya dalam menghargai keberagaman, meskipun
kadang-kadang gagal saat tiba-tiba mendengar lagu-lagu d’Bagindas atau
lagu apapun jika di-cover oleh Sabrina, penyanyi Filipina itu. He-he-he.
Ada sebuah lagu rilisan dua puluh tahun lalu yang mengubah mimpi saya.
“Creep” dari Radiohead. Sejak mendengar lagu itu, saya kembali bertekad
untuk belajar gitar. Dua tahun sebelumnya saya sempat tergerak untuk
belajar gitar setelah mendengar “You’re All I Need” milik White Lion,
namun harapan segera pupus karena saat itu susah sekali memainkan lagu
sialan itu. “Creep” merupakan sebuah komposisi sederhana namun sangat
kuat. Saya mulai belajar gitar. Kini, dua puluh tahun kemudian, main
gitarnya masih berantakan. Ha-ha-ha.
Tapi saya berhasil menjalankan sebuah band yang awet bersama tiga
sahabat saya. Kami berempat mulai nge-band bersama tiga belas tahun
lalu; mulai menggunakan nama The Rain sekitar dua belas tahun lalu. Hari
ini, kami masih empat orang sahabat yang sama: Iwan Tanda, Aang
Anggoro, Ipul Bahri dan saya. Cukup banyak yang terlewati selama belasan
tahun ini. Sebagian terangkum lewat Komik Cihuy Anak Band yang kami
rilis tiga tahun lalu.
Ada banyak pengalaman lainnya yang tidak dimasukkan ke komik tersebut.
Terlalu pahit. Saya bersyukur bisa menikmati perjalanan ajaib bersama
The Rain. Band pop kami ini memiliki cerita yang lebih rock & roll
daripada yang kami bayangkan dulu. But hey, it’s just rock & roll.
Tahun ini, satu setengah tahun setelah merilis album studio kelima, dan dengan kondisi kembali menjadi band yang unsigned—tanpa
kontrak dengan label manapun, kami masuk studio untuk merampungkan
sebuah lagu baru. Buntu dengan aransemennya, kami mengajak Stephan
Santoso dari Musikimia untuk bergabung sebagai produser.
Stephan mau bergabung setelah mendengar lagu mentahnya. Kami kembali
berkutat di studio, kali ini berlima. Ada satu hal yang menarik dari
kerja sama dengan Stephan Santoso: setelah beberapa waktu mengenal The
Rain, sepertinya Stephan terlibat secara emosional dengan kami—bukan
sekadar kerja sama bisnis antara produser dan band.
Pada awalnya, negosiasi mengenai harga dan mekanisme kerja sama berlangsung sangat serius. Beberapa bulan kemudian, setelah master siap
untuk diambil, saya menghubungi Stephan untuk menyelesaikan 50% sisa
pembayaran—dia malah menolak. ”Pakai saja dulu buat promo,” katanya
serius. Mungkin dia benar-benar senang dengan hasilnya, atau mungkin dia
hanya kasihan dengan band ini setelah kenal dengan kami. Ha-ha. Mungkin
juga dua-duanya. Tapi saya tahu, dia senang bisa kenal dengan The Rain.
Kami bisa merasakannya. Oh ya, saya tetap melunasi 50% sisa pembayaran
tersebut setelah sedikit memaksa.
Suatu pagi, beberapa hari setelah Stephan Santoso bergabung, tiba-tiba
saya terpikir untuk mengajak band lain untuk bergabung di lagu yang
sedang kami kerjakan itu. Nama pertama yang terpikir adalah Endank
Soekamti. Sahabat seperjuangan kami dari Yogya sejak sama-sama belum
punya album. Pagi itu juga saya usulkan ke Iwan, Ipul & Aang. Mereka
setuju.
Tak lama kemudian saya bertemu dengan Erix, Dory dan Ari Soekamti saat
mereka ada jadwal manggung di Jakarta. Saya utarakan rencana itu. Mereka
bersedia bergabung. Proses rekaman jarak jauh dilakukan. Rekaman
surat-menyurat, kirim-mengirim data. The Rain rekaman di Jakarta, Endank
Soekamti di Yogya.
Setelah lagu “Terlatih Patah Hati” rampung direkam, kami memutuskan
untuk merilis sendiri single tersebut lewat kerja sama titip distribusi
dengan GP Records. Semua berjalan cukup lancar hingga kami mengetahui
bahwa Ipul, bassist kami, sakit cukup keras. Ada gangguan di paru-paru
dan bahunya. Ipul harus menerima suntikan antibiotik setiap hari selama
tiga bulan.
Saat saya menulis ini, Ipul telah menjalani dua kali operasi dan terus
menjalani pengobatan. Dalam kondisi seperti itu, Ipul tetap memaksakan
diri untuk hadir dalam sebagian jadwal panggung dan syuting video teaser untuk single ini. Ipul juga meneruskan pengerjaan desain situs the-rain-band.com.
Kini setelah semua yang saya alami bersama The Rain, saya benar-benar
beruntung bisa bertemu ketiga sahabat saya itu. Kami mungkin tak
termasuk dalam 100 band paling populer, tapi saya tahu kami adalah salah
satu band paling tangguh di Indonesia. After all, it’s just rock & roll.
Home »
Music News
» Soundwaves: It's Just Rock & Roll
Soundwaves: It's Just Rock & Roll
Posted by Unknown
Posted on 12:17:00
with No comments

0 comments:
Post a Comment