Home » » Deadsquad: Death Dealers

Deadsquad: Death Dealers

Jakarta - Kumpul-kumpul itu dihelat di bilangan Cipete, Jakarta Selatan, tepatnya di rumah milik Christopher “Coki” Bollemeyer dan istrinya. Rumah bergaya Bali itu dibuat sesuai dengan tradisi dari sang istri yang memang berasal dari Pulau Dewata. Gitaris Deadsquad itu tampak santai mengenakan kaus dan celana pendek menyambut Rolling Stone, walau masih belum bisa terlalu bersemangat akibat baru saja pulih dari sakit tipus.

“Ya sekarang sedang dalam taraf penyembuhan. Sakitnya sih sudah lewat kemarin. Sekarang istirahat-istirahat saja,” tukas Coki.

Di dalam ruang teras yang dijadikan studio kecil, sudah ada anggota Deadsquad yang lain. Ada bassist Bonny Sidharta, vokalis Daniel Mardhany, dan juga gitaris Stevie Item tengah duduk di sebuah sofa sembari mengepulkan asap rokok. Daniel Mardhany kini tampak lebih rapi dibanding era album pertama Deadsquad, Horrorvision, saat ia kerap muncul dengan rambut gondrong. Kini ia mulai tampil dengan rambut mop top dan berkaus band-band alternatif, bahkan indie pop.

Pria yang selain menjadi vokalis Deadsquad juga bekerja di sebuah grup media besar ini tidak terlihat ‘metal’ seperti kawan-kawan satu bandnya. Dan menurut pengamatan Rolling Stone, akibat selera musiknya yang demikian luas, ia hanya manggut-manggut ketika dicandai sebagai ‘hipster’ oleh teman-teman bandnya. Drummer Andyan Gorust tak bisa hadir di sesi wawancara akibat ada kesibukan di tempat lain.

Deadsquad tidak seserius itu, walau tak ada yang mampu menyangkal bahwa death metal adalah musik yang serius. Ketika Chuck Schuldiner dari band Death asal Florida atau Jeff Becerra dari band Possessed menciptakan terma ‘Death Metal’ di awal ‘80-an di Amerika, lirik yang mereka teriakkan penuh dengan keberingasan serta citra band yang sangar nan serius.

Namun Deadsquad dari bumi Indonesia lebih tampak sebagai sekumpulan pemuda yang gemar bersenda gurau. Stevie bahkan mengatakan kalau musik Deadsquad itu sebenarnya tidak direncanakan untuk menjadi technical death metal seperti sekarang. “Deadsquad sebenarnya dibilang death metal karena tempo dan pola permainan Andyan Gorust yang banyak (hyper) blast,” ujarnya.

Namun suka atau tidak, band yang terbentuk tahun 2006 ini sekarang menjadi salah satu band metal terbesar di Indonesia. Yang pasti mereka menjadi salah satu band dengan penjualan merchandise terlaku dalam sejarah metal Indonesia, kalau bukan yang paling laku. Dalam sebuah wawancara dengan Rolling Stone, Santo, pemilik Merchandise Conspiracy, perusahan produsen merchandise band dari Deadsquad, mengaku bahwa penghasilan terbesarnya didapatkan dari penjualan merchandise Deadsquad, yang bisa menghasilkan puluhan juta setiap bulannya.

Ini terjadi semenjak album debut mereka, Horrorvision, yang dirilis pada 2009 memberikan popularitas luar biasa di kalangan penggemar musik cadas dan membuat band ini kenyang malang melintang dari panggung ke panggung di berbagai penjuru negara ini. Kini mereka baru saja melepas album kedua berjudul Profanatik, dirilis oleh Armstretch Records, sebuah label rekaman yang juga dimiliki oleh Santo. Dengan musikalitas metal yang kini makin kompleks serta penuh dengan teknik yang mumpuni, Profanatik disebut sebagai pencapaian Deadsquad dari segi skill.

Penantian para penggemar pun akhirnya selesai. Sebuah perhelatan kecil-kecilan di The Eye Merch, sebuah distro kecil milik Andyan Gorust yang dibuat dalam rangka melepas album terbaru mereka, ternyata berhasil menjadi magnet bagi para penggemar sehingga dua ribu keping CD album baru mereka ludes hanya dalam satu hari. Belum lagi ketika sebulan kemudian Deadsquad mengadakan pesta peluncuran album terbaru mereka di Bulungan Outdoor, Jakarta. Sekitar 2000-an orang hadir dan berpesta bersama. Siapa yang menyangka bahwa ‘death’ di death metal hanyalah sebuah istilah. Kenyataannya, musik ini hidup di Indonesia dengan hasrat yang menggebu-gebu, dan bila melihat cahaya di mata para personel Deadsquad, musik ini telah berhasil membuat hidup mereka lebih hidup.

Bila Deadsquad adalah bentuk aktualisasi diri dari para pemainnya, maka ini adalah salah satu bentuk aktualisasi diri paling sukses yang pernah ada di kancah musik di Indonesia. Stevie masih juga sibuk dengan mata pencahariannya di Andra and the Backbone, Andyan Gorust dengan distronya, Coki dengan Netral, Bonny dengan usahanya, dan Daniel dengan kerja kantorannya, band ini akan terus menjadi kanal untuk bersenang-senang, dan penggemar mereka pun senang. Inilah sebuah situasi win-win yang sahih. “Ketika kami total di atas panggung dan kemudian penonton terbakar, energinya menjadi berbalik ke kami yang ada di atas panggung. Hal inilah yang sifatnya adiktif. Hal ini yang membuat kita kecanduan dalam bermain metal,” kata Stevie.

0 comments:

Post a Comment



Popular Posts

Powered by Blogger.