Biografi Band DEAD VERTICAL (Grind Core - Jakarta)

Dead Vertical, band yang didirikan pada 22 Nopember 2001 di sebuah kawasan pinggiran Jakarta Timur, dengan formasi awal Iwan-Vocals, Boy Guitars/Backing vocals, Bony-Bass dan Andriano-Drums. Seiring dengan berjalannya waktu maka seperti lazimnya band-band lainnya Dead Vertical telah mengalami beberapa kali pergantian personil, yakni pada pertengahan 2003 Andriano (Drums) mengundurkan diri karena kesibukan kerjanya, kemudian posisinya digantikan oleh Bimo yang bertahan hingga Maret 2004 (setelah rilis album pertama “Fenomena Akhir Zaman”) kemudian ia mengundurkan diri. Selanjutnya posisi Drummer digantikan oleh Arya dari (Formyblood) hingga sekarang. Pada akhir 2005 Iwan (Vocals) mengundurkan diri karena kesibukan kerja dan posisi Vocals digantikan oleh Boy sekaligus tetap memegang posisi Guitars.

Dead Vertical mempunyai arti “MATINYA HUBUNGAN VERTIKAL ANTARA TUHAN DENGAN MANUSIA”. Nama ini terinspirasi oleh fenomena kehidupan di era sekarang dimana dunia telah dipenuhi oleh kebencian, kekacauan, pembantaian, dan penyesatan secara global karena banyak manusia yang telah melupakan Tuhannya.

Dead Vertical terinfluence oleh band-band seperti Napalm Death, Terrorizer, Slayer, Sepultura, Brutal Truth, Righteous Pigs, Massacre, Nasum, Lock Up, Rotten Sound dan lain-lain. Lirik-lirik yang diteriakkan bertema sosial dan seputar kehidupan sehari-hari yang dikemas dalam bentuk genre Grindcore. Hingga saat ini Dead Vertical telah menghasilkan beberapa karya musik antara lain Split tape dengan band Hardcore Philipina-Human Error (No Label rec 2003), Album Pertama “Fenomena Akhir Zaman” (The Eye Music 2004), Mini Album “Global Madness” (Dead Vertical 2006) dan beberapa kompilasi Death Metal-Hardcore.



More Info:
Reverbnation
MySpace 

Pemain Bass L'Arc-En-Ciel Akan Segera Menjadi Ayah

Tokyo - Pentolan sekaligus pemain bass band rock terkenal asal Osaka, Jepang, L’Arc-en-Ciel, Tetsuya dikabarkan akan segera menjadi seorang ayah, demikian dilaporkan Tokyohive.

Berita tersebut diumumkan langsung oleh istri Tetsuya, Sakai Ayana yang saat ini sedang mengandung enam bulan.

Melalui blog resminya, Sakai Ayana yang dijadwalkan akan melahirkan pada musim panas mendatang tersebut mengatakan, “Saat ini, kami sangat diberkati dengan anak yang sudah lama dinantikan.”

Sakai Ayana menjelaskan, “Karena ini merupakan untuk yang pertama kali, saya merasa sangat gugup, tapi saya menghabiskan waktu dengan senang sambil merasakan anak kami bergerak-gerak dengan semangat di dalam kandungan.”

Tetsuya dan Sakai Ayana sudah menikah sejak 2007 dan ini akan menjadi anak pertama setelah menikah lebih dari 6 tahun.

Sementara itu, Tetsuya bersama bandnya, L’Arc-en-Ciel pada Maret lalu baru saja menggelar konser di Stadium Olimpiade Nasional, Tokyo untuk kedua kalinya dan akan merilis single baru pada Agustus mendatang.

Deadsquad: Death Dealers

Jakarta - Kumpul-kumpul itu dihelat di bilangan Cipete, Jakarta Selatan, tepatnya di rumah milik Christopher “Coki” Bollemeyer dan istrinya. Rumah bergaya Bali itu dibuat sesuai dengan tradisi dari sang istri yang memang berasal dari Pulau Dewata. Gitaris Deadsquad itu tampak santai mengenakan kaus dan celana pendek menyambut Rolling Stone, walau masih belum bisa terlalu bersemangat akibat baru saja pulih dari sakit tipus.

“Ya sekarang sedang dalam taraf penyembuhan. Sakitnya sih sudah lewat kemarin. Sekarang istirahat-istirahat saja,” tukas Coki.

Di dalam ruang teras yang dijadikan studio kecil, sudah ada anggota Deadsquad yang lain. Ada bassist Bonny Sidharta, vokalis Daniel Mardhany, dan juga gitaris Stevie Item tengah duduk di sebuah sofa sembari mengepulkan asap rokok. Daniel Mardhany kini tampak lebih rapi dibanding era album pertama Deadsquad, Horrorvision, saat ia kerap muncul dengan rambut gondrong. Kini ia mulai tampil dengan rambut mop top dan berkaus band-band alternatif, bahkan indie pop.

Pria yang selain menjadi vokalis Deadsquad juga bekerja di sebuah grup media besar ini tidak terlihat ‘metal’ seperti kawan-kawan satu bandnya. Dan menurut pengamatan Rolling Stone, akibat selera musiknya yang demikian luas, ia hanya manggut-manggut ketika dicandai sebagai ‘hipster’ oleh teman-teman bandnya. Drummer Andyan Gorust tak bisa hadir di sesi wawancara akibat ada kesibukan di tempat lain.

Deadsquad tidak seserius itu, walau tak ada yang mampu menyangkal bahwa death metal adalah musik yang serius. Ketika Chuck Schuldiner dari band Death asal Florida atau Jeff Becerra dari band Possessed menciptakan terma ‘Death Metal’ di awal ‘80-an di Amerika, lirik yang mereka teriakkan penuh dengan keberingasan serta citra band yang sangar nan serius.

Namun Deadsquad dari bumi Indonesia lebih tampak sebagai sekumpulan pemuda yang gemar bersenda gurau. Stevie bahkan mengatakan kalau musik Deadsquad itu sebenarnya tidak direncanakan untuk menjadi technical death metal seperti sekarang. “Deadsquad sebenarnya dibilang death metal karena tempo dan pola permainan Andyan Gorust yang banyak (hyper) blast,” ujarnya.

Namun suka atau tidak, band yang terbentuk tahun 2006 ini sekarang menjadi salah satu band metal terbesar di Indonesia. Yang pasti mereka menjadi salah satu band dengan penjualan merchandise terlaku dalam sejarah metal Indonesia, kalau bukan yang paling laku. Dalam sebuah wawancara dengan Rolling Stone, Santo, pemilik Merchandise Conspiracy, perusahan produsen merchandise band dari Deadsquad, mengaku bahwa penghasilan terbesarnya didapatkan dari penjualan merchandise Deadsquad, yang bisa menghasilkan puluhan juta setiap bulannya.

Ini terjadi semenjak album debut mereka, Horrorvision, yang dirilis pada 2009 memberikan popularitas luar biasa di kalangan penggemar musik cadas dan membuat band ini kenyang malang melintang dari panggung ke panggung di berbagai penjuru negara ini. Kini mereka baru saja melepas album kedua berjudul Profanatik, dirilis oleh Armstretch Records, sebuah label rekaman yang juga dimiliki oleh Santo. Dengan musikalitas metal yang kini makin kompleks serta penuh dengan teknik yang mumpuni, Profanatik disebut sebagai pencapaian Deadsquad dari segi skill.

Penantian para penggemar pun akhirnya selesai. Sebuah perhelatan kecil-kecilan di The Eye Merch, sebuah distro kecil milik Andyan Gorust yang dibuat dalam rangka melepas album terbaru mereka, ternyata berhasil menjadi magnet bagi para penggemar sehingga dua ribu keping CD album baru mereka ludes hanya dalam satu hari. Belum lagi ketika sebulan kemudian Deadsquad mengadakan pesta peluncuran album terbaru mereka di Bulungan Outdoor, Jakarta. Sekitar 2000-an orang hadir dan berpesta bersama. Siapa yang menyangka bahwa ‘death’ di death metal hanyalah sebuah istilah. Kenyataannya, musik ini hidup di Indonesia dengan hasrat yang menggebu-gebu, dan bila melihat cahaya di mata para personel Deadsquad, musik ini telah berhasil membuat hidup mereka lebih hidup.

Bila Deadsquad adalah bentuk aktualisasi diri dari para pemainnya, maka ini adalah salah satu bentuk aktualisasi diri paling sukses yang pernah ada di kancah musik di Indonesia. Stevie masih juga sibuk dengan mata pencahariannya di Andra and the Backbone, Andyan Gorust dengan distronya, Coki dengan Netral, Bonny dengan usahanya, dan Daniel dengan kerja kantorannya, band ini akan terus menjadi kanal untuk bersenang-senang, dan penggemar mereka pun senang. Inilah sebuah situasi win-win yang sahih. “Ketika kami total di atas panggung dan kemudian penonton terbakar, energinya menjadi berbalik ke kami yang ada di atas panggung. Hal inilah yang sifatnya adiktif. Hal ini yang membuat kita kecanduan dalam bermain metal,” kata Stevie.

Timur Tragedi di Kukar Rockin' Fest 2014

Tenggarong - Insiden metal berskala internasional memang bisa terjadi di mana saja di bagian bumi ini. Namun siapa sangka jika itu terjadi di sebuah festival musik rock berskala internasional tahunan yang digelar gratisan di sebuah kabupaten terpencil di pedalaman Kalimantan Timur bernama Tenggarong yang memiliki basis massa puluhan ribu metalhead?

Saat itu Minggu (9/3) malam, bertepatan dengan Hari Musik Nasional. Di Lapangan Panahan yang bersebelahan dengan Stadion Sepakbola Aji Imbut, Power Metal, band heavy metal legendaris asal Surabaya, baru sekitar dua menit saja memainkan lagu ketiga sekaligus hit terbesar mereka, "Satu Jiwa", di panggung Kukar Rockin' Fest 2014.

Ribuan penonton tampak kegirangan dan bahkan histeris. Namun mendadak dari belakang panggung muncul vokalis Testament Chuck Billy tengah memegang segelas anggur dan mikrofon yang direbutnya dari MC sembari berteriak, "Stop, stop, stop…."

Tentunya vokalis gondrong tinggi besar yang berdarah Indian Amerika itu sedang tidak mood untuk berduet dengan Power Metal, ia justru ingin menghentikan konser mereka. Upayanya gagal karena tampak tak ada yang menghiraukan kehadirannya sama sekali di sana.

Secara tak terduga, Kyle Sabal, salah seorang kru Testament, kemudian mencabuti satu persatu kabel audio instrumen yang menancap di amplifier Power Metal. Kontan saja musik terhenti dan aksi sabotase yang disaksikan sekitar 40.000 penonton itu menuai amarah dan protes besar-besaran.

"Padahal kami tinggal memainkan lagu "Satu Jiwa," lagu terakhir kami malam itu. Kami sudah siap berkorban hanya memainkan tiga lagu saja agar Testament bisa segera tampil, sayangnya mereka tidak sabar dan mencabut semuanya. Jelas kami kesal banget jadinya," ujar Arul Efansyah, vokalis Power Metal, kepada Rolling Stone.

Beberapa botol air mineral sempat mela-yang ke atas panggung sebelum akhirnya dapat diredam berkat persuasi dari pihak promotor. Yang terjadi kemudian adalah perdebatan sengit di atas panggung antara Chuck Billy, Arul, gitaris Ipung, manajemen Power Metal dengan pihak promotor. Tampak menyaksikan pula di pinggir panggung antara lain para anggota band Kapital, Burgerkill, Seringai, Down For Life, hingga Zi Factor yang sebelumnya telah manggung terlebih dahulu.

Akbar Haka, promotor yang menggelar acara ini, menjelaskan kepada penonton bahwa Testament terpaksa harus tampil saat itu juga karena mereka harus kembali ke Bandara Sepinggan, Balikpapan, untuk mengejar pesawat ke Jakarta yang dijadwalkan terbang pukul 05:25 WIB. Perjalanan darat yang ditempuh dari Tenggarong ke Balikpapan normalnya memakan waktu 3,5 jam dengan rute yang cukup terjal berliku.

Alhasil, Power Metal dengan besar hati terpaksa mengalah dan Testament pun mengambil alih panggung. Sayangnya, para penonton yang telah menunggu sekitar 16 tahun untuk penampilan pertama Power Metal di Tenggarong itu masih kesal dengan aksi sabotase tadi. Alih-alih melakukan pelemparan atau perusakan saat Testament manggung, puluhan ribu penonton tersebut dengan spontan lebih memilih aksi duduk massal dengan santainya. Kerisauan terjadi di belakang panggung, para anggota band yang tadi tampil khawatir jika Testament memaksa manggung maka akan pecah keributan dari para penonton. "Gila nih, bunuh diri namanya," ujar salah seorang gitaris band yang ikut menyaksikan dari pinggir panggung.

Arul menjelaskan bahwa ketika insiden itu terjadi sebenarnya pihaknya hanya mengikuti jadwal manggung yang telah ditetapkan oleh panitia. "Tidak ada permintaan ke kami agar Testament manggung lebih dulu waktu itu, padahal kami tidak masalah jika diberitahu dulu sebelumnya untuk manggung belakangan. Menurut kami hanya terjadi miskomunikasi saja antara panitia dengan pihak agen dari Jakarta," jelas Arul.

Setelah intro "The Star Spangled Banner" dari John Stafford Smith berkumandang, Chuck Billy, gitaris Alex Skolnick, gitaris Eric Peterson, bassist Steve DiGiorgio, dan drummer Gene Hoglan menghajar panggung dengan nomor pembuka agresif "Rise Up" dari album terakhir mereka, Dark Roots of Earth, yang berhasil menembus posisi 12 di tangga album Billboard 200. Disusul kemudian nomor lawas "The Preacher" (The New Order) hingga "More Than Meets the Eye" (The Formation of Damnation).

Tampak hanya dua baris penonton bagian depan yang memanas, berdiri melakukan headbang atau slam dance brutal merespons Testament. Ribuan penonton lainnya hanya santai menyaksikan sambil duduk bersila. Sesekali teriakan menghujat Testament dan meminta Power Metal manggung kembali terdengar dari penonton.

Sapaan bersahabat dari Chuck Billy hanya ditanggapi dingin oleh penonton, sebelum akhirnya mereka babat lagi dengan "Native Blood" dan "Dark Roots of Earth."
Alex Skolnick tampil kalem namun tetap memukau seraya jari-jemarinya menari di fret disertai liukan tubuh khas seorang virtuoso gitar. Drummer metal legendaris eks-Death, Dark Angel, Fear Factory, yang paling misterius di band, Gene Hoglan, juga tampak powerful memberikan konstan gemuruh beat dan kick di balik set drumnya. Sementara gitaris sekaligus pendiri band Eric Peterson tampak garang mengumbar cabikan-cabikan ritme nan agresif didukung bassist "baru" Steve DiGiorgio yang sangat piawai memainkan bas fretless tanpa bantuan pick.

Lebih gawat lagi ketika dua nomor thrash klasik mereka mainkan, yaitu "Into the Pit" dan "Practice What You Preach", dua baris penonton yang tadinya semangat tampak mulai loyo. Alhasil dua lagu yang sebenarnya paling ditunggu-tunggu oleh penggemar setia Testament itu lantas berlalu begitu saja. Suasana makin dingin walau penonton tetap bersabar menunggu karena layar besar di kanan-kiri panggung sesekali menampilkan pesan berbunyi: "Jangan ke mana-mana, setelah ini Power Metal akan kembali tampil lagi."

Akhirnya setelah “The New Order,” “The Haunting,” dan “Over the Wall,” Chuck Billy entah frustrasi atau mulai tak sabar dengan respons dingin penonton mulai menyender ke panggung drums sambil mereguk kaleng bir sembari menatap dengan pandangan nanar ke penonton. Sebuah kaleng bir ia tendang ke arah penonton, mungkin sebagai reaksi kekesalannya. Sementara kawan-kawannya yang lain telah silam ke belakang panggung untuk bersiap melakukan encore walau sebenarnya hanya sedikit di antara penonton yang berteriak “We want more, we want more.

Chuck Billy melalui mikrofon kemudian meminta agar perwakilan promotor mendampinginya untuk menerjemahkan kata-katanya kepada penonton. Ternyata tak seorang pun dari mereka ingin membantu Chuck hingga akhirnya majulah Rio, gitaris Down For Life asal Solo, ke tengah panggung.

“Kamu mengerti bahasa Inggris?” ujar Chuck yang dijawab Rio dengan, “Yeah.” Vokalis Testament tersebut meminta kepada Rio agar bertanya kepada para penonton, “Apakah kalian menyukai heavy metal?” yang dijawab dengan “Yeah” yang gegap gempita dari massa penonton.

“OK, sekarang tolong beritahu mereka bahwa kami akan menampilkan lagi band yang tadi tampil sebelumnya untuk bermain semalam suntuk,” ujar Chuck yang kemudian dijawab dengan “No” oleh Rio. Menerima jawaban tersebut, Chuck lantas berkesimpulan bahwa Rio tidak paham apa yang ingin ia utarakan kepada penonton. Rio mundur teratur.

“Apakah kalian mau heavy metal lagi?,” tanya Chuck. Kali ini serentak para penonton membalas dengan keras, “Tidak!” Akhirnya Chuck Billy sendiri yang memutuskan mundur. “Baiklah, selamat malam, sampai jumpa lagi. Terima kasih, Indonesia!” ujar Chuck sembari melambaikan tangannya diikuti oleh anggota Testament lainnya ke bawah panggung. Pada saat itu juga mood acara menjadi anti-klimaks.

Tak sedikit penggemar berat Testament yang telah menunggu puluhan tahun dan datang dari jauh ke Tenggarong hanya bisa kesal dan bingung dengan situasi yang terjadi. Apalagi tujuan utama mereka ke sana memang hanya ingin menyaksikan Testament yang baru pertama kalinya tampil di Indonesia, bahkan Asia Tenggara.

Puluhan ribu penonton – termasuk Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari yang ikut menyaksikan seluruh drama tadi dari FOH – serentak berdiri dan bersorak-sorai ketika Arul dan Power Metal kembali tampil ke atas panggung. Seraya menunggu kru mengatur instrumen kembali, Arul berkomunikasi dengan para penonton dan memuji kesabaran mereka. Sesekali ia juga menggunakan bahasa daerah Banjarmasin, tanah kelahirannya, yang jelas disambut meriah para penonton.

“Timur Tragedi” menjadi nomor pertama yang digeber Power Metal pada penampilan kedua malam itu di Kukar Rockin’ Fest 2014. Suasana sekejap bergairah kembali, kontras dengan set yang ditampilkan oleh Testament sebelumnya. Bahkan ketika nomor power ballad “Bidadari” dikumandangkan, seruan Arul – yang malam itu sekilas bagai Bruce Dickinson – agar para penonton ikut melambai-lambaikan kedua tangan mereka ke udara ditanggapi dengan sangat responsif. Ujung paling belakang hingga barisan penonton terdepan ikut melambaikan tangan secara berbarengan. Rolling Stone yang berada di bibir panggung saat menyaksikan momen ini merasakan segenap bulu kuduk berdiri. Menakjubkan.

Walau akhirnya menjadi headliner yang sebenarnya, Power Metal tetap main empat lagu saja, tidak termasuk dua lagu di penampilan awal. Nomor hits klasik “Angkara” dan “Satu Jiwa” yang akhirnya berhasil dimainkan secara utuh menjadi klimaks dari Kukar Rockin’ Fest 2014.

Diwarnai pesta kembang api, semua pihak tampak sangat berbahagia, tak hanya para penonton, promotor sekaligus pula anggota band-band yang telah tampil. Teriakan penuh semangat a la pertandingan sepakbola, “Indonesia, Indonesia, Indonesia” bahkan bergema pula di ruang ganti artis di belakang panggung.

Keesokan harinya masih belum banyak media massa yang menulis tentang peristiwa semalam. Drama “Timur Tragedi” yang terjadi di Tenggarong ini mulai menyebar luas via Twitter, Facebook dan Path. Banyak pihak yang mengecam dan juga membela Testament, kontroversi ramai bergulir di media sosial. Bahkan Facebook Group Testament ikut diserbu oleh para pengunjung dari Indonesia dengan berbagai sumpah serapah. Beberapa perwakilan band yang ikut tampil juga menuliskan perasaan mereka masing-masing.

“Saya berharap kalian bisa lebih baik menyelesaikan masalah. Tadi malam seharusnya bisa menjadi malam yang mengagumkan. Banyak orang menunggu kalian selama 20-25 tahun dan bepergian jauh. Sedih melihat kru gitar Anda dan vokalis benar-benar tidak menghargai band lokal yang main sebelum Anda. Saya berharap bisa melihat kalian lagi suatu hari nanti, tentu dengan kalian memiliki sikap yang lebih baik, mood, dan sebagai-nya. Salam,” tulis Arian13, vokalis Seringai kepada gitaris Alex Skolnick via akun Twitter pribadinya.

“Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri insiden pencabutan kabel gitar Power Metal oleh teknisi Testament dan insiden lainnya adalah tindakan yang tidak terpuji. Tapi ada satu hal yang banyak orang tidak sadari, siapapun atau band apapun ketika berada di negara orang dengan situasi sulit ketika harus memi-lih antara memaksakan untuk manggung de-ngan jadwal yang ngaret atau ketinggalan jadwal pesawat untuk pulang ke negaranya adalah pilihan yang sangat sulit. So, apapun bisa terjadi,” tulis gitaris dan pendiri Burgerkill, Eben, via akun Facebook pribadinya.

Komentar lebih bijak juga datang dari produser eksekutif festival ini yang sekaligus pula Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari, menanggapi salah satu pengikutnya di Twitter, “Saya tetap mengagumi karya-karya mereka (Testament), memang tur panjang jadi kita maklumi saja sebagai manusia juga ada batas kelelahannya, anak metal juga manusia.”

Sementara Akbar Haka mewakili promotor Distorsi Rockaholicompany mencoba menuliskan peristiwa yang terjadi dari sisinya via laman Facebook Kukar Rockin Fest. “Pada saat sore kami menerima info pihak band internasional ingin rundown mundur satu jam, karena alasan baru tiba di kota Tenggarong saat acara telah dimulai. Itulah mengapa akhirnya band-band yang sebelumnya harus mundur pula satu jam pada saat memulai setelah break. Tetapi setelah rundown mulai berjalan mundur, pihak band internasional memang secara profesional tetap menginginkan mereka harus tampil di jadwal yang telah di-counter sebelumnya. Hal ini membuat sedikit insiden kecil yang cukup menyedihkan, dengan legowo Power Metal harus turun sebentar, lalu kemudian melanjutkan kembali setelah jadwal tampil dari band internasional tersebut di atas.”

Akbar juga sekaligus menyampaikan permohonan maafnya atas insiden yang terjadi. Kukar Rockin’ Fest sendiri yang merupakan festival musik keras terbesar di Pulau Kalimantan hingga kini telah berjalan ketiga kalinya, diawali pada 2012 dengan headliner band thrash metal legendaris asal Brazil, Sepultura, kemudian 2013 dimeriahkan bintang tamu band power metal legendaris asal Jerman, Helloween.

Setelah polemik makin meruncing dan membelah para penggemar setia Testament dengan penonton asal Tenggarong, akhirnya pada 13 Maret lalu keluar penjelasan panjang lebar sekaligus pernyataan maaf yang tulus dari manajemen Testament yang dirilis via situs resmi mereka, TestamentLegions.com. Pernyataan resmi ini kemudian banyak diangkat menjadi berita oleh berbagai situs berita musik metal internasional seperti Blabbermouth.net, AntiMUSIC, Metal Sucks, Metal Injection, dan Metal Insider.

“Kepada para penonton Kukar Rockin’ Fest: Kami memohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala tindakan yang telah terjadi. Kami sangat menghargai tindakan band pembuka yang sangat akomodatif, kami juga memohon maaf kepada mereka dan tidak pernah bermaksud untuk tidak menghargai me-reka. Kalau dipikir-pikir, mungkin akan menjadi keputusan yang lebih baik untuk membiarkan mereka melanjutkan pertunjukan dan memotong banyak lagu di pihak kami sendiri. Tapi dalam suasana panas saat itu, proses pengambilan keputusan yang kami lakukan ternyata malah menjadi bumerang. Kami menyesal dengan kejadian ini, yang sama sekali tidak mewakili Testament yang sebenar-nya, atau menjadi tujuan perjalanan panjang yang telah kami tempuh ke sana. Kami benar-benar berharap untuk bisa kembali ke Indonesia suatu hari nanti dalam suasana yang lebih baik,” tulis Testament.

Ketika Arul ditanya Rolling Stone apakah masih menyimpan dendam terhadap perlakuan Testament, ia menjawab, “Nggak dendam sama sekali. Testament itu band besar, band tingkat dunia, kami tidak ada apa-apanya. Biarkan yang sudah terjadi, yang penting kami menerima permohonan maaf mereka.”

Green Day Mengenang Album 'Dookie'

Jakarta - Pada 1 Februari 1994, Green Day merayakan beredarnya album ketiga mereka, Dookie, dengan tur menyeberang teluk dari tempat asal mereka – kancah hardcore punk di Berkeley – untuk bermain di Slim’s, sebuah klub di San Francisco.

Vokalis-gitaris Billie Joe Armstrong gugup di malam itu, tapi bukan karena Dookie adalah album pertama bandnya di bawah perusahaan rekaman besar, Reprise. Itu karena Green Day bermain sepanggung dengan The Dead Milkmen, sebuah band punk kocak yang tenar di tahun ’80-an lewat lagu-lagu seperti “Bitchin’ Camaro”.
“Saya pikir, ‘Saya tak mau bermain setelah mereka – mereka punya lagu-lagu yang bagus,’ ” kata Armstrong.

Sebenarnya, pada momen itu, Green Day – Armstrong, bassist Mike Dirnt dan drummer Tre Cool, semuanya berusia 21 tahun – punya banyak lagu yang lebih bagus: 14 karya meledak-ledak di Dookie, termasuk “Basket Case”, kisah kepanikan bertempo tinggi, serta lagu-lagu orang bosan “Burnout” dan “Longview”. Itu semua kisah-kisah nyata – “sebuah jurnal,” kata Armstrong, sang penulis lirik utama di band itu, tentang “apa saja yang ada di pikiran saya, tentang kehidupan sebagai anak jalanan.”

Di Slim’s, Green Day memainkan lagu-lagu barunya dengan girang. Reaksi 500 orang yang menonton terjadi dengan cepat dan sedikit menakutkan, sebuah euforia crowd-surfing dan slam-dancing yang diabadikan dalam video untuk single “Welcome to Paradise”, yang direkam di klub itu pada malam tersebut. “Mereka benar-benar penuh energi,” kata Armstrong, kini 42 tahun, “seolah-olah mereka ingin menjadi bagian dari sesuatu, tapi tak ada yang tahu itu apa. Kami pun tidak tahu.”

Armstrong baru tahu beberapa bulan kemudian, pada 9 September, ketika Green Day tampil di puncak sebuah acara udara terbuka gratis di Hatch Shell, Boston dengan penonton sekitar 65.000 orang. Saat itu, single pertama dari Dookie, “Longview”, menduduki peringkat pertama di radio modern rock, dan albumnya nyaris terjual dua juta kopi. Bahkan sebelum Green Day tampil, sebuah mosh pit besar terjadi di tengah-tengah penonton; setelah tampil 20 menit, kerusuhan besar-besaran berlangsung, anggota keamanan tertekan tak berdaya pada pagar di depan panggung.

Green Day sedang membawakan “F.O.D.” – singkatan dari “Fuck Off and Die” – dari Dookie ketika aparat mengakhiri konsernya. Di kamar hotel mereka, Armstrong dan istrinya, Adrienne, menyaksikan kerusuhan itu di televisi. “Itu jadi berita utama,” katanya, dengan masih takjub hingga kini. “Mereka mengucapkan nama band kami, isi dari lagu-lagu-nya: ‘Anak-anak ini berasal dari kaum terlantar.’
“Kita bisa lihat,” kata Armstrong, sambil tertawa. “Itu berkembang.”

Kini, Dookie adalah salah satu album rock tersukses yang pernah dibuat, dengan lebih dari 10 juta kopi terjual di Amerika Serikat saja, dan Green Day adalah band punk terbesar di Amerika. Ke-11 album studio mereka, termasuk American Idiot, album opera punk dari 2004 yang sukses besar, telah terjual sejumlah 75 juta kopi di seluruh dunia.

“Kami tak menyangka sedang merintis jalan untuk sisa hidup kami,” kata Dirnt, 41 tahun. “Kami mengikuti jejak band-band kesukaan kami dari tahun ’60-an, seperti The Who dan The Kinks. Pikirkan langkah selanjutnya. Buatlah lagu-lagunya sehidup mungkin.”

Dookie bisa jadi merupakan kisah kesuksesan yang paling tak terduga di antara tren rock alternatif tahun ’90-an. Ketika itu Rob Cavallo adalah staf A&R junior di Reprise, anak perusahaan Warner Bros., ketika mengontrak Green Day, lalu menjadi co-producer album itu bersama mereka pada musim panas 1993. “Ada orang-orang di Warner Bros.,” menurut Cavallo, “yang berkata, ‘Mengapa kamu mau mengontrak band punk? Punk tak pernah laku.’"

“Ini adalah era grunge, dengan ciri khas drum menggelegar, tempo yang sangat lamban dan banyak reverb,” sementara Dookie itu cepat, renyah dan kering. Ketika Cavallo, yang kini menjabat sebagai bos Warner Bros., pertama kali memperdengarkan albumnya yang sudah rampung kepada departemen promosi di perusahaan rekamannya, seseorang bertanya, “Kapan akan di-mixing?”

“Saya menduga ada 100.000 anak keren di luar sana yang suka punk rock,” kata Cavallo. Dugaannya kurang dua angka nol. “Kami adalah band pop punk pertama yang sukses besar.”

Di sebuah era yang ditandai oleh musik suram asal Seattle yang dibuat Nirvana dan Alice in Chains, lagu-lagu seperti “Welcome to Paradise”, kisah Armstrong tentang kabur dari rumah sewaktu remaja, atau “Having a Blast” yang menikmati balas dendam, memadukan sifat minimalis punk klasik, kekuatan pop ’60-an dan introspeksi berani, yang lahir dari nilai-nilai kaum pinggiran di kancah musik East Bay.

Armstrong dan Dirnt, sahabat sejak kecil yang mulai bermain musik bersama di usia 12 tahun, menamai bandnya Green Day karena terinspirasi kegemaran mereka menghabiskan hari sambil mengisap ganja. “Dookie” adalah istilah dari tur untuk diare akibat makanan buruk; saat ditanya tentang judul albumnya, Armstrong menjawab, “Itu ulah orang teler.”

Alasan itu sering muncul saat Green Day membicarakan Dookie sekarang. Bagaimana rasanya menjadi incaran perang tawar-menawar antara perusahaan rekaman besar? Dirnt: “Kami lebih banyak teler ketika itu.” Bagaimana ceritanya Cool bisa menyanyikan “All by Myself”, lagu bonus yang konyol? Kata sang drummer: “Saya tidak tahu. Mungkin saya teler.” Bagaimana cara mereka memutuskan untuk ikut Reprise? Armstrong: “Kami mungkin teler. Saya harus jujur. Kami selalu teler. Kami duduk bersama manajer, dan melalui proses eliminasi yang kabur – ‘Rob Cavallo? Baiklah!’ ” Armstrong menghela nafas dengan lega. “Puji Tuhan semuanya berjalan baik-baik saja.”

“Jika ada satu hal yang saya sesalkan,” kata Dirnt, saat mengenang, “saya terlalu lama teler.”

Tapi di tengah kabut ganja itu masih ada sifat cermat. “Sangat banyak band punk membuat kesalahan, yakni terdengar mewah dengan terlalu banyak reverb,” kata Armstrong. “Bagi kami, semuanya harus sederhana. Mungkin hanya ada dua solo gitar di album ini. ‘Apa yang akan kita lakukan di bagian bridge?’ ‘Persetan dengan bridge – mari kita langsung masuk ke bait, dipompa dengan power chord keras.’ ”

Cool, kini 41 tahun, menyebut teladan yang tak terduga bagi Dookie: Please Please Me oleh The Beatles, yang sering dipasang di van tur Green Day. “Kami ingin membuat album yang enak didengar dari awal sampai akhir,” katanya, “yang akan membuatmu menyetel kaset itu bolak-balik.”

“Lagu-lagu kami punya kepribadian ganda,” kata Dirnt. “Cukup riang. Sisi badungnya terdengar jelas.” Tapi liriknya “juga sangat gelap dan serius.” Dia ingat rasa kagetnya, ketika Dookie meledak di tangga album dan radio sepanjang 1994, saat melihat “orang-orang tertawa di bagian-bagian yang salah” pada lagu-lagu di konser Green Day. “Saya pikir, ‘Wah, kapten tim football berambut hijau dan ada anting di hidungnya,’ sedangkan teman-teman saya selalu dipukul karena itu.”

Green Day punya akar yang dalam di kancah hardcore Berkeley. Sewaktu remaja, mereka mengasah aksi panggung mereka yang dinamis di 924 Gilman Street, sebuah klub semua usia tempat album pertama Green Day – 39/Smooth dari 1990 yang dibuat dengan drummer pertama John Kiffmeyer, serta Kerplunk dari 1992 – diedarkan oleh perusahaan rekaman kecil Lookout! Records. Sebelum bergabung dengan Green Day, Cool berman di The Lookouts, band salah satu pendiri Lookout! Records, Larry Livermore.

Tapi ketika Green Day dikontrak oleh Reprise, hujatan terjadi dengan cepat dan pedas. Gilman Street mencekal trio itu dari lokasinya. Armstrong bercerita tentang masa yang membingungkan itu, ketika dia punya kontrak dengan perusahaan rekaman besar tapi belum mendapat uangnya. Armstrong menghadiri pesta di gedung penghuni gelap di Berkeley bersama pacarnya ketika itu (yang menjadi inspirasi lagu “She” di Dookie), beberapa kaleng bir dan beberapa loyang roti segar yang ditemukan di tempat sampah.

“Saya berjalan masuk,” katanya, “dan ada seseorang yang berkata, ‘Inilah bajingan dari Green Day itu. Dia dikontrak oleh perusahaan besar. Kamu fasis.’” Armstrong berkelahi dengan penuduh itu, sebelum dilerai. “Saya membuang rotinya, membawa birnya dan pergi. Saya marah.” Kini dia terdengar sedih. “Karier kami mulai terbuka. Tapi sesuatu yang sangat penting bagi saya justru menutup.”

Dirnt bersikeras bahwa Green Day takkan dikontrak oleh perusahaan rekaman besar “kalau tidak menyangkut bagaimana kami bertiga bertahan hidup. Bagi saya, mengkhianati prinsip adalah dengan kembali menjadi penggoreng burger, pemasang pemanas rumah dan melukis. Apakah saya ingin punya kehidupan di mana saya peduli akan sesuatu? Atau apakah saya ingin menjalani kehidupan di mana semua orang di sekitar saya juga sengsara?

“Itu intinya,” kata sang bassist. “Mempertahankan hati.”

“Kami menguras habis mereka,” kata Armstrong dengan ceria, saat bercerita tentang makanan dan minuman gratis, penerbangan ke Los Angeles dan kenakalan lainnya yang dinikmati Green Day ketika menjadi rebutan perusahaan-perusahaan rekaman besar. “Itu era di mana orang-orang A&R punya kartu kredit, jadi mereka bisa membeli apa saja yang mereka mau. Kami menghabiskan minibar dan membengkakkan tagihan – anak-anak gila yang berusaha sebisa mungkin untuk menertawakan segalanya.”

Mereka berkata ke salah satu staf A&R bahwa mereka akan masuk labelnya jika dia membuat tato Green Day di bokongnya. “Di tengah-tengah kantornya,” kata Armstrong, “dia membuka celana untuk menunjukkannya ke kami. Salah satu bos melihatnya dan berkata, ‘You fucking idiot.’ ” Ternyata tato itu palsu, dan orang itu tidak berhasil mendapatkan Green Day.

Di salah satu perjalanan ke L.A., Green Day berhasil membujuk seorang eksekutif di Geffen untuk membawa mereka ke Disneyland. “Kami sudah makan, perut kenyang, naik roller coaster,” kata Cool. “Kami senang.” Pada saat itu, mereka juga sudah memutuskan untuk ikut Cavallo.

Green Day bisa serius saat dibutuhkan. Menurut Dirnt, di salah satu pertemuan, “David Geffen berkata, ‘Kurt seperti anak saya sendiri’ ” – maksudnya Kurt Cobain dari Nirvana. “Saya berkata, ‘Terserah, bung.’ Tapi saya juga berpikir, ‘Saya tak ingin jadi anak kedua, anak yang satu lagi. Kalau dia seperti anak bagi Anda, untuk apa menginginkan saya?’”

Cavallo mengaku punya dua kelebihan. Dia adalah co-producer salah satu album baru kesukaan Armstrong ketika itu, yakni album debut oleh band pop punk asal L.A., The Muffs. Dia juga bisa bermain gitar. Green Day mengundang Cavallo ke tempat latihan mereka di Berkeley, “membuat saya mabuk,” kata Cavallo, “dan mulai bertanya-tanya. ‘Kabarnya Anda bisa memainkan semua lagu The Beatles. Bagaimana cara memainkan bagian yang menurun di “Help!”? Bagaimana cara memainkan bagian itu di “A Hard Day’s Night”?’ Kami bermain gitar bersama selama satu setengah jam.”


Popular Posts

Powered by Blogger.